DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG

SAMBAS, ZONAKALBAR.COM – Sebuah pepatah lama yang tentunya sudah begitu familyar bagi kita semua. Pepatah ini tentunya bisa ditafsirkan dalam banyak makna positif. Salah satunya terkait dengan budaya, dimana ketika kita tinggal disuatu tempat, suatu daerah tertentu, sudah selayaknya kita berperilaku, bersikap dan menghargai budaya setempat dengan adat istiadatnya. Seperti halnya Masyarakat Sambas ini memiliki budaya yang unik, salah satunya yaitu makan saprahan.

Dalam kegiatan makan saprahan ini memiliki nilai-nilai sosial yang dapat mempererat rasa persaudaraan masyarakat salah satunya yaitu gotong royong.

Disela-sela kesibukan dan pekerjaan sehari-hari ketua perwakilan P3SM Kalbar. Erwinsyah, S. ST.MM menyempatkan diri untuk menghadiri acara Saprahan di desa Jelu air Kec. Jawai Selatan Kab. Sambas.

Dalam Sambutanya Erwin menyampaikan makna dari Saprahan atau Tradisi makan saprahan itu, Erwin menegaskan bahwasa nya memiliki makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Prosesi saprahan begitu kental dengan makna filosofis, intinya menekankan pentingnya kebersamaan, keramah tamahan, kesetiakawanan sosial, serta persaudaraan. Makan nyaprah juga dapat dilakukan di rumah kita sendiri bersama keluarga, bapak, ibu, kakak, abang, atau adik-adik yang lain. Begitu juga jika kita kedatangan tamu, kita ajak dia makan bersama-sama dengan nyaprah duduk bersila di lantai lebih jauh Erwin menjelaskan Berbicara mengenai keragaman suku bangsa, di Kalimantan Barat terdapat suku bangsa Melayu yang diantaranya tersebar di berbagai daerah, salah satunya adalah suku Melayu di Kabupaten Sambas yang dikenal dengan sebutan suku Melayu Sambas.Menurut masyarakat setempat, Saprahan berarti tingkah laku yang baik atau kebersamaan yang tinggi. berdasarkan keyakinan warga setempat, yang berarti sopan dan santun atau kebersamaan yang tinggi. Tradisi ini mewujudkan semangat kekompakan satu dan lainnya”

Pegi kelaut hendak memukat, tengok lubuk tengok perapat, yang jauh kian mendekat, yang dekat kian merapat Itu salah pantun yg di sampaikan Bapak erwinsyah Yang terhormat kepala desa jelu air kecamatan Jawai selatan, tokoh masyarakat ,tokoh agama, Pak lebay ,amil kepala, Pak rt, Pak rw, warga sekitar dan hadirin hadirat yang saya hormati pd kesempatan ini saya ucapkan terima Kasih atas waktu yg di berikan, saya sangat kagum dengan adat budaya sambas yg mengedepankan kebersamaan , semoga bapak ibu hadirin tetap Istiqomah dalam menjaga adat budaye sambas yang tidak menyimpang dari syariat Islam Pesan saye kepada sanak saudara yang di perantauan jage lah adat istiadat daerah masing masing Di mane bumi di pijak situ lah langit di junjung. Jangan suke membuat gaduh yang menerima suatu berita yang dimane berita itu balom tentu kebenaran nye. Tutupnya.

H. Rasidi Salah Satu Tokoh Masyarakat yang hadir dari desa teluk pandan kec. galing Menambahkan senada apa yang Erwin sebutkan sebelumnya, H. rasidi menjelaskan, Saro’an adalah nama lain dari kondangan bagi masyarakat sambas. Saro’an ini juga dikemas dengan cara yang beda dari kondangan yang ada di bayangan kita. Jika biasanya di kondangan akan diberikan souvenir, makan dengan prasmanan dan duduk dengan nyaman di kursi sambil mendengar lagu yang disenandungkan band akustik. Serta salam-salaman dengan kedua mempelai, tak lupa memasukkan amplop berisikan uang di dalam kotak yang telah disediakan. Namun saro’an ini justru jauh berbeda. Ada perbedaan yang khas sehingga menjadikan saro’an sebagai gaya kondangan yang sangat boleh dicoba. Sebelum itu, mari kita berkenalan sedikit lebih dalam dengan makna “Saro’an”.Ujar H. Rasidi

H. Rasidi menjelaskan lebih jauh. Menurut warga asli wilayah Sambas, Saro’an ini diambil dari bahasa Sambas, yaitu nyaro’ yang artinya menyeru atau memanggil. Karena cara mengundang orang-orang untuk datang ke saro’an hanya dengan mengajak satu dengan yang lain atau dari mulut ke mulut. Jadi tak perlu buang-buang kertas hanya untuk menuliskan tanggal dan waktu acara yang akan diadakan. Walau sekarang sudah sedikit canggih, karena cukup mengundang lewat grup keluarga besar di Whatsapp atau mendatangi rumah kerumah. Istilah saro’an ternyata tidak hanya merujuk pada acara pernikahan, namun semua acara yang mengundang banyak orang seperti khitanan, potong rambut,tepong tawar dan sebagainya. Berikut adalah kegiatan yang membuat Saro’an memiliki perbedaan yang khas dari kondangan. Setelah diundang ke Saro’an, satu hari sebelum acara diadakan orang-orang akan berdatangan ke rumah yang bersangkutan untuk antar pakatan. Di antar pakatan, nantinya orang-orang yang di saro’ atau diundang akan mengantarkan bahan-bahan makanan untuk dimasak pada saro’an, seperti ayam atau itik dan beras. Bahkan ada yang memberikan daging sapi atau ikan. Mirip dengan memberikan amplop saat kondangan, namun rasanya antar pakatan ini jauh lebih worth it dibanding dengan sekedar memberikan uang.

H. Rasidi Sepaham apa yang Erwin sampaikan mengatakan istilah Saprahan ini terasa lebih akrab dibanding dengan Saro’an terkhusus masyarakat suku Melayu. Saprahan merupakan tradisi makan dengan duduk bersama. Biasanya setiap satu sajian lengkap untuk dimakan oleh 5-6 orang. Dalam satu sajian ini hanya diberi dua sendok untuk lauk berkuah, dan para tamu akan makan dengan tangan. Mungkin sebagian masyarakat perkotaan akan menilai cara makan saprahan ini tradisional karena untuk mengambil lauknya terutama ayam dengan menggunakan tangan dan air bersih yang disediakan hanya satu tiap satu sajian. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda tradisi saprahan ini memberikan arti yang mendalam seperti kesetaraan karena duduk melantai, berbagi dan kekeluargaan. Ketika makanan masih bersisa, maka akan dikumpulkan dan dibawa pulang oleh orang-orang sekitar sehingga tidak ada makanan yang terbuang.Tutupnya.