Oleh : Muzemmil
Eksistensialisme bukan sekadar filsafat, ia adalah revolusi pemikiran yang menantang segala batas dan menolak segala dogma yang memenjara jiwa manusia. Berakar dalam pencarian makna yang mendalam dan eksistensi diri, eksistensialisme membebaskan kita dari rantai takdir, mencampakkan kita ke dalam jurang kebebasan tanpa batas, di mana kita menjadi arsitek dari realitas kita sendiri.
Dimulai dengan Soren Kierkegaard, sang pejuang spiritual yang menggugat Tuhan dari kedalaman jiwanya, eksistensialisme membuka jalan bagi individu untuk berdiri di hadapan Tuhan bukan sebagai hamba yang pasrah, tetapi sebagai makhluk yang memilih berhadapan dengan paradoks keberadaan, di mana keyakinan dan keraguan berjalan beriringan dalam sebuah tarian yang penuh ketegangan.
Heidegger, dengan magnum opus-nya Being & Time, menelusuri jejak manusia menuju pengada otentik—identitas yang lahir dari kebersamaan dengan waktu, di mana manusia dipaksa untuk menghadapi kenyataan hidup yang tak terelakkan: kita adalah makhluk yang terlempar ke dunia tanpa panduan, tanpa tujuan yang pasti, hanya dikelilingi oleh absurditas dan pilihan yang tak ada habisnya.
Kemudian datang Sartre, sang pemberontak intelektual yang mengobarkan api kebebasan dalam hati manusia. Sartre menolak mentah-mentah keberadaan Tuhan, menempatkan diri manusia di puncak penciptaan. Dalam ketiadaan Tuhan, manusia menjadi “Tuhan kecil” pemilik kebebasan yang tak terbatas, pencipta nilai dan makna hidupnya sendiri. Dengan kebebasan itu, manusia dipaksa untuk terus-menerus membuat pilihan, tanpa peduli pada moralitas yang telah usang, tanpa takut pada dosa atau hukuman ilahi.
Eksistensialisme bukanlah sekadar refleksi, ia adalah tindakan, sebuah panggilan untuk melangkah keluar dari bayang-bayang, untuk menjadi lebih dari sekadar penonton dalam drama kehidupan. Ia menantang kita untuk menjadi lebih, untuk menembus batas-batas eksistensi, dan menghadapi absurditas hidup dengan kepala tegak, menerima kebebasan sebagai kutukan yang tak terhindarkan, tetapi juga sebagai berkah yang paling berharga.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi, eksistensialisme menawarkan sebuah pelarian dari tirani identitas kolektif, memaksa kita untuk bertanggung jawab atas diri kita sendiri, untuk menciptakan makna dalam kekosongan yang ditinggalkan oleh Tuhan, tradisi, dan moralitas kuno. Ia memaksa kita untuk melihat hidup sebagai sesuatu yang belum selesai, sebuah perjalanan tanpa tujuan yang pasti, tetapi justru dalam ketidakpastian itulah kita menemukan diri kita yang sejati.
Eksistensialisme adalah tentang keberanian untuk hidup, bukan sekadar eksis. Ini adalah panggilan untuk melangkah ke dalam kegelapan yang tak diketahui, dengan keberanian yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang siap untuk menjadi lebih dari sekadar manusia biasa—siap untuk menjadi makhluk yang bebas, yang terikat hanya oleh kebebasan itu sendiri.
Inilah filsafat yang mengguncang jiwa, yang menghancurkan ilusi, dan yang menawarkan satu-satunya hal yang benar-benar nyata: kebebasan untuk menjadi, kebebasan untuk memilih, dan kebebasan untuk hidup.