ZONAKALBAR.COM – Masa Remaja sering disebut sebagai masa pencarian jati diri, periode yang penuh energi dan potensi. Namun, di balik dinamika ini, kenakalan remaja menjadi salah satu isu sosial yang semakin memprihatinkan. Dari tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, hingga perundungan di dunia nyata maupun dunia maya, fenomena ini menggambarkan tantangan besar bagi masyarakat kita hari ini.
Dalam hal ini tidak bisa dimungkiri, lingkungan memainkan peran besar dalam membentuk perilaku remaja. Media sosial, misalnya, sering menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi membuka akses pengetahuan yang tak terbatas, tetapi di sisi lain, ia menjadi ruang subur untuk perilaku negatif. Konten-konten yang mempromosikan kekerasan, gaya hidup konsumtif, hingga pergaulan bebas dengan mudah menyusup ke kehidupan sehari-hari remaja.
Baru-baru ini, WHO merilis laporan berjudul “Mental Health of Children and Adolescents in the Digital Age”.
Laporan ini berfokus pada dampak teknologi digital, termasuk media sosial, terhadap kesejahteraan psikologis anak-anak dan remaja. WHO menyatakan bahwa paparan konten negatif, seperti kekerasan, perundungan (bullying), dan pornografi di media sosial, berpotensi besar menimbulkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental anak-anak. Temuan utama dari laporan ini meliputi:
- Peningkatan risiko depresi dan kecemasan pada anak-anak yang terpapar konten negatif, mereka cenderung mengalami gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan.
- Konten negatif seperti cyberbullying mendorong anak-anak untuk menarik diri dari interaksi sosial, baik online maupun offline, yang kemudian mengarah pada isolasi sosial dan perasaan kesepian.
- Paparan konten yang memicu stres atau kecemasan, terutama sebelum tidur, mengganggu pola tidur anak.
Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kenakalan remaja setiap tahunnya terus mengalami meningkatan, di tahun 2016 (dalam Choirunisa, 2018), di tahun 2013 kasus kenakalan remaja mencapai 6325 kasus, pada 2014 mencapai 7007 kasus, pada 2015 mencapai 7762 kasus, dan pada 2016 mencapai 8597. Dengan kata lain, angka kenakalan remaja mengalami peningkatan sebesar 10,7 persen dalam kurun 2013–2016. Kasus-kasus kenakalan remaja yang marak terjadi antara lain tawuran, membolos sekolah, pencurian, pembunuhan, pergaulan bebas, dan narkoba.
Hal yang sama Menurut data KPAI tahun 2016 (dalam Choirunisa, 2018), jumlah pelajar tawuran meningkat 20 persen hingga 25 persen setiap tahunnya terhitung dari tahun 2011 sampai 2016. Dari data-data tersebut, terlihat bahwa kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, salah jika sepenuhnya menyalahkan teknologi. Ada faktor lain yang tak kalah penting, yakni minimnya kehadiran orang tua dan lemahnya pendidikan karakter di rumah maupun di sekolah.
Dalam kehidupan modern yang serba sibuk, banyak orang tua kehilangan waktu untuk mendengarkan cerita anak mereka. Akibatnya, anak merasa terabaikan, mencari pengakuan di tempat lain, yang sering kali membawa mereka ke lingkungan yang salah.
Sekolah, yang seharusnya menjadi benteng pembentuk moral, juga menghadapi tantangan berat. Kurikulum yang menitikberatkan pada akademik sering kali melupakan pentingnya pembentukan karakter. Pendidikan karakter bukan sekadar teori dalam kelas, melainkan harus menjadi praktik nyata yang terlihat dalam interaksi sehari-hari antara guru dan siswa.
Solusi dari persoalan ini bukanlah hal yang sederhana, tetapi kolaboratif. Orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat harus bersatu. Orang tua perlu memperkuat peran mereka sebagai pendamping utama anak, menyediakan ruang dialog yang hangat dan terbuka. Sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam sistem pendidikan secara lebih menyeluruh. Pemerintah juga perlu mendukung dengan regulasi yang melindungi remaja dari paparan konten negatif, sekaligus memberikan ruang positif untuk pengembangan bakat mereka.
Selain itu, penting bagi kita semua untuk melihat remaja bukan sebagai masalah, tetapi sebagai aset bangsa. Di balik kenakalannya, mereka memiliki energi besar yang jika diarahkan dengan benar, dapat menjadi kekuatan untuk perubahan. Oleh karena itu, mari kita menjadi pendukung aktif bagi masa depan mereka, bukan hanya dengan kritik, tetapi juga dengan kasih sayang, teladan, dan dukungan nyata.
Kenakalan remaja bukanlah akhir dari cerita, melainkan panggilan bagi kita semua untuk menciptakan generasi yang lebih baik. Jangan biarkan mereka merasa sendirian dalam pencarian jati diri mereka. Mari kita rangkul, bimbing, dan berikan harapan bahwa masa depan mereka jauh lebih cerah daripada sekadar kenakalan sesaat.