Oleh: M. Syainullah
Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak reformasi 1998 menggulingkan rezim Orde Baru yang otoriter dimana gerakan mahasiswa dan rakyat kala itu bukan sekadar pergantian kekuasaan, melainkan tuntutan atas demokrasi yang substansial atas supremasi hukum, pemberantasan korupsi, penghapusan dwifungsi ABRI, dan otonomi daerah yang adil. Namun sebagaimana ditulis oleh Muhammad Taufik Ridho dalam Muda Bicara ID, “meskipun Orde Baru telah berakhir dan reformasi berhasil dilakukan, berbagai permasalahan yang jauh lebih besar justru semakin menghantui perjalanan bangsa Indonesia”.
BACA JUGA:
Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi
Kekerasan Aparat dan DPR yang Menjauh dari Rakyat
Gus Syihab Serukan Politik Damai dan Bersih Pemilu ini
Reformasi membuka ruang kebebasan, tetapi juga melahirkan paradoks ketika demokrasi prosedural berjalan, namun substansi kedaulatan rakyat justru tergerus. Jason Brennan dalam _Against Democracy_ menyebut bahwa demokrasi modern sering kali dipimpin oleh demagog, pemimpin yang memanipulasi emosi publik tanpa komitmen pada kebenaran. Indonesia hari ini menunjukkan gejala serupa dimana elite politik lebih sibuk memburu popularitas daripada merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi representasi kehendak publik, justru menjadi simbol privilese dan jarak sosial. Tunjangan fantastis, minimnya transparansi legislasi, dan rendahnya partisipasi publik dalam proses politik memperlihatkan bahwa wakil rakyat tak lagi berpijak di tanah rakyat.
Dalam beberapa bulan terakhir, kemarahan publik memuncak. Demonstrasi besar-besaran, pembakaran gedung DPRD, penjarahan rumah pejabat, dan bentrokan aparat dengan demonstran bukanlah gejala spontan, melainkan akumulasi kekecewaan. Ketika rakyat yang dikenal ramah dan penyabar menurut InterNations 2024, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dalam nominasi _Ease of Making Friends dan Culture & Welcome_ tiba-tiba menjadi begitu pemarah, maka itu bukan soal karakter, melainkan soal pengkhianatan terhadap harapan.
Di sektor ekonomi, utang negara per Januari 2025 telah mencapai Rp8.909 triliun, atau 39,6% dari PDB. Pemerintah menyebut rasio ini “masih aman”, namun beban fiskal yang terus meningkat menunjukkan bahwa pembangunan belum sepenuhnya produktif. Sementara itu, korupsi tetap menjadi penyakit kronis. Kasus Pertamina menjadi salah satu kasus mercusuar dengan kerugian negara Rp968,5 triliun, skandal PT Timah Rp300 triliun, dan korupsi di Kemenaker serta BRI Ventures menunjukkan bahwa reformasi belum berhasil membangun sistem pengawasan yang efektif.
Di bidang pendidikan, Rapor Pendidikan 2025 mencatat bahwa dari 216.580 sekolah di Indonesia, hanya 55% SD dan 70% SMA yang memiliki perpustakaan. Rasio ruang kelas dan laboratorium masih timpang, terutama di daerah tertinggal. Pendidikan yang seharusnya menjadi fondasi kemajuan justru terjebak dalam ketimpangan struktural. Seperti yang ditulis Munir, “Pendidikan politik rakyat hanya akan berhasil dalam sistem yang demokratis dan adanya jaminan atas HAM”.
_Land reform_ pun belum menunjukkan kemajuan berarti dimana Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Asia Land Forum 2025 menyebut bahwa reforma agraria masih terhambat oleh tumpang tindih regulasi dan dominasi korporasi atas tanah rakyat. Program peta dasar skala besar yang didanai Bank Dunia memang berjalan, namun belum menyentuh akar persoalan yaitu, ketimpangan kepemilikan lahan dan absennya keberpihakan negara terhadap petani kecil.
Marhaenisme kembali relevan sebagai tawaran ideologis dan praksis! Bung Karno merumuskan Marhaenisme bukan sebagai dogma, tetapi sebagai metode pembebasan rakyat kecil dari struktur ekonomi yang menindas. Marhaen bukan proletar dalam pengertian Marx, melainkan rakyat yang memiliki alat produksi namun tidak cukup untuk hidup layak. Solusi sosial ekonomi Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada pertumbuhan makro, tetapi harus berpijak pada keberdayaan rakyat kecil.
Marhaenisme menuntut negara hadir sebagai pelindung, bukan sekadar regulator. Ia menuntut distribusi tanah yang adil, pendidikan yang membebaskan, dan politik yang berpihak. Dalam kata Bung Karno, “Marhaenisme adalah jalan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, baik oleh manusia maupun oleh sistem.” Maka dalam refleksi 27 tahun reformasi, kita harus bertanya: apakah kita masih berjalan di jalan pembebasan, atau telah tersesat dalam labirin kekuasaan?
Frantz Fanon dalam _The Wretched of the Earth_ menyebut bahwa kekerasan negara terhadap rakyat bukanlah penyimpangan. Ia adalah bagian dari logika kolonial yang belum sepenuhnya hilang. Negara pascakolonial yang gagal membebaskan rakyatnya dari ketakutan justru mewarisi cara-cara penindasan yang dulu digunakan oleh penjajah. Hannah Arendt dalam _The Origins of Totalitarianism_ mengingatkan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi oleh hukum dan etika akan selalu berujung pada kehancuran moral publik.
Demokrasi tanpa keadilan sosial adalah ilusi dimana reformasi tanpa keberpihakan adalah pengkhianatan dan negara tanpa rakyat adalah kekosongan yang hanya diisi oleh suara-suara demagog. Saatnya kembali ke akar. Membangun Indonesia dari rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat. Karena jika kita terus berjalan tanpa arah, maka sejarah akan kembali menulis dirinya. Bukan sebagai kemajuan, tetapi sebagai pengulangan luka.**