Penulis: Muhammad Syanullah
ZONAKALBAR.COM – Jika benar bahwa manusia diciptakan dengan akal, lalu mengapa hidupnya selalu didikte oleh hasrat? Mengapa rasionalitas yang diagungkan dalam nalar Barat tak pernah sanggup menjinakkan nafsu terdalam manusia untuk menguasai, memiliki, dan menaklukkan?
Nietzsche telah menjawab dengan murka, bahwa kehendak terdalam manusia bukanlah untuk hidup damai, tetapi untuk berkuasa. _Der Wille zur Macht_ atau _Will to Power_ katanya, adalah inti terdalam dari eksistensi. Bahkan kebenaran pun menurutnya, hanyalah produk dari kehendak untuk mendominasi tafsir. Maka ketika kekuasaan menjadi hasrat paling purba, demokrasi hanyalah arena adu nafsu. Dan negara hanyalah alat yang mempermanenkan ketimpangan secara sah.
BACA JUGA:
Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi
Sekolah Kebangsaan, Ketua DPRD Pontianak Apresiasi Aksi Pemuda Mengawal Demokrasi
Realita Indonesia Modern di Tengah Kolonialisme Oligarki
Plato, dalam _The Republic_, menyinggung tiga bagian dasar jiwa manusia yaitu, nafsu, keberanian, dan akal atau _Epithumia, Thumos, dan Logoticon_. Jiwa yang adil adalah ketika akal mengendalikan nafsu dan dibantu oleh keberanian. Namun realitas politik hari ini membuktikan bahwa nafsu telah membungkam akal. Keberanian berubah jadi keberingasan. Jiwa yang tidak adil itulah yang kini mewujud dalam tubuh negara.
Hobbes pernah menulis dalam _Leviathan_, bahwa dalam kondisi alami, manusia takut akan kematian. Ketakutan itulah yang mendorong mereka membentuk kontrak sosial. Namun ironisnya, dalam masyarakat modern, ketakutan itu tidak lenyap. Ia hanya berganti rupa. Dari takut mati menjadi takut kehilangan pengaruh. Dari takut kehilangan hidup menjadi takut kehilangan kuasa. Kekuasaan menjadi jaring pengaman terakhir, bahkan ketika moralitas telah dibuang ke jurang kepentingan.
Di Indonesia, kekuasaan tidak lagi dimaknai sebagai amanat. Ia menjadi komoditas yang diperjualbelikan dalam pasar kekuasaan yang rakus dan banal. Hasrat untuk berkuasa tidak lagi lahir dari keinginan membebaskan, melainkan dari keinginan menguasai anggaran, proyek, dan birokrasi. Demokrasi berubah menjadi perlombaan memburu rente. Oligarki menyusun orkestrasi agar kekuasaan tetap berada dalam tangan segelintir elit, yang ironisnya mengaku sebagai wakil rakyat. Padahal mereka tak pernah berpijak di tanah rakyat.
Michel Foucault mengkritik bahwa kuasa bukan hanya berada di kursi tertinggi. Ia merasuki tubuh, wacana, bahkan cara kita memahami kebenaran. Maka kekuasaan hari ini tidak datang secara frontal. Ia datang dalam bentuk narasi, janji, dan popularitas semu yang dibentuk oleh algoritma dan uang. Kuasa tak lagi dibangun oleh kebenaran, melainkan oleh persepsi.
Pertanyaannya, apakah kehendak berkuasa itu kodrat manusia? Ataukah hasil dari sistem sosial yang merangsang manusia untuk terus menaklukkan sesamanya?
Jika kehendak untuk memiliki tak pernah dikenyangkan, maka politik tak akan pernah jadi ruang publik. Ia akan terus menjadi cermin hasrat terdalam manusia. Bukan untuk melayani, tetapi untuk mengatur. Bukan untuk mengorbankan diri, tetapi untuk mempertahankan kedudukan. Dari sinilah kita memahami bahwa demokrasi di Indonesia tidak dibangun atas cita, tetapi atas rasa lapar. Lapar akan nama, pengaruh, dan legitimasi yang dapat dibungkus dalam bungkus moral palsu.
Rocky Gerung menuding bahwa demokrasi kita telah kehilangan arah karena kehilangan ide. Tapi barangkali lebih dari itu, demokrasi kita kehilangan kontrol terhadap desire. Yang tersisa hanyalah sistem formal yang dilekati semangat predatorik. Hasrat pribadi dibungkus menjadi kepentingan publik, lalu disahkan melalui mekanisme prosedural.
Maka tak heran jika politikus hari ini tak lagi punya wajah. Mereka bisa berubah menjadi siapa saja demi mendekati kekuasaan. Mereka bukan aktor ideologis, melainkan badut yang menyesuaikan topeng sesuai cuaca.
Dan kita, rakyat biasa, diajak untuk ikut bermain dalam panggung absurditas ini. Diberi hak suara, tapi tak diberi suara. Diberi pilihan, tapi hanya di antara yang sama-sama lapar. Inilah politik modern dalam maknanya yang telanjang.
*Kekuasaan bukan lagi tujuan kolektif. Ia menjadi agama baru. Dan manusia, dengan segala akalnya, kembali menjadi budak dari apa yang dulu ia ciptakan.*