Manifesto Politik Kekuasaan Presiden Prabowo

 

Oleh: M. Syainullah

 

Kekuasaan selalu datang dengan janji, janji perubahan, janji keberpihakan, janji pembebasan. Tapi sejarah politik Indonesia mengajarkan kita bahwa janji sering kali hanya menjadi pembuka bagi kompromi politik. Presiden Prabowo Subianto yang naik dengan narasi patriotik dan semangat restorasi, kini menghadapi ujian paling mendasar yaitu apakah kekuasaan yang ia genggam akan menjadi alat transformasi, atau sekadar perpanjangan dari pola lama yang terus berulang?

Baca juga: Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi

Sejak dilantik Prabowo menunjukkan gestur kuat sebagai pemimpin yang ingin cepat bekerja, namun kecepatan itu tidak selalu beriringan dengan ketepatan. Kabinet yang dibentuk dengan nama “Kabinet Merah Putih,” memperlihatkan pola balas budi politik yang kentara. Fraksi “Geng Solo” yang terdiri dari figur-figur dekat dengan rezim lama mendominasi posisi strategis. Alih-alih membangun kabinet teknokratik yang mampu menjawab tantangan struktural, Prabowo justru memanjakan loyalis dan memperkuat patronase.

Baca juga: Hasrat, Kuasa, dan Kehendak Politik Gelap

Jika berbicara tentang permasalahan yang kian menumpuk, tak lepas dari permasalahan ekonomi dan tantangan fiskal semakin nyata. Utang negara terus menanjak, dan belanja negara diarahkan pada program-program populis yang belum tentu menyentuh akar masalah. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) misalnya, menyerap anggaran Rp71 triliun pada 2025 dan diproyeksikan melonjak menjadi Rp335 triliun pada 2026. Artinya, hampir 10% dari total APBN dialokasikan untuk satu program yang setiap harinya menguras lebih dari Rp1 triliun. Padahal serapan anggaran kita masih rendah, dimana baru menyentuh 18,6% dari pagu anggaran hingga September. Dan belum lagi polemik kasus keracunan makanan telah menimpa lebih dari 4.000 murid.

Baca juga: Mahasiswa KKL IAIN Pontianak Suarakan Kepedulian Atas Insiden Robohnya Lantai SDN 28 Sungai Raya

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bahkan mendesak agar program MBG dihentikan sementara untuk evaluasi total. Mereka menyoroti tumpang tindih anggaran antara sektor pendidikan dan kesehatan, serta lemahnya pengawasan dan tata kelola anggaran. Ini bukan hanya sekadar soal permasalahan teknis, tapi juga soal orientasi kekuasaan, apakah negara sedang membangun sistem yang tahan lama atau sekadar mengejar popularitas jangka pendek?

 

Dalam hal hukum dan pemberantasan korupsi, belum juga terlihat gebrakan berarti. Kasus-kasus besar seperti skandal PT Timah dan korupsi di BUMN masih menggantung di ruang publik. Reformasi hukum yang dijanjikan belum menyentuh akar persoalan dimana seharusnya hadir independensi lembaga penegak hukum, transparansi pengadilan, dan perlindungan terhadap whistleblower. Sementara itu, politik balas budi terus menggerogoti integritas kelembagaan. Ketika loyalitas lebih dihargai daripada kompetensi, maka hukum tak lagi menjadi alat keadilan, melainkan instrumen kekuasaan.

 

Infrastruktur tetap menjadi primadona, namun orientasinya masih terjebak pada megaproyek dan simbol seperti embangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) bekas peninggalan rezim lama kian terus digenjot, meski kajian dampak sosial dan ekologisnya belum tuntas. Jalan-jalan baru dibuka, tetapi akses pendidikan dan kesehatan di daerah tertinggal masih timpang. Seperti yang dikritik oleh Cas Mudde dan Cristóbal Rovira Kaltwasser dalam Populism: A Very Short Introduction, populisme sering kali menyederhanakan masalah kompleks dan menawarkan solusi instan yang menggugah emosi, bukan rasionalitas. MBG, IKN, dan proyek-proyek besar lainnya bisa jadi contoh bagaimana populisme bekerja dalam kebijakan yang mengesankan, tetapi belum tentu menyelesaikan.

Baca juga: Hasrat, Kuasa, dan Kehendak Politik Gelap

Prabowo bukan satu-satunya pemimpin yang terjebak dalam logika populisme, namun sebagai presiden dia punya peluang untuk membalik arah. Manifesto kekuasaan seharusnya bukan tentang siapa yang harus duduk di kursi kekuasaan, tetapi tentang bagaimana kekuasaan digunakan untuk membongkar ketimpangan, memperkuat institusi, dan membangun kepercayaan publik. Jika tidak, maka kekuasaan hanya akan menjadi panggung bagi pengulangan sejarah di mana rakyat kembali menjadi penonton, bukan aktor utama.

Kekuasaan, seperti yang diingatkan oleh Christopher Nolan dalam film The Dark Night Rises bisa membuat seseorang “mati sebagai pahlawan, atau hidup cukup lama untuk menjadi penjahat.” Maka berhati-hatilah. Karena dalam republik yang rapuh, kekuasaan bukan hanya soal mandat, tapi soal tanggung jawab. Dan tanggung jawab itu tidak bisa ditukar dengan popularitas, apalagi dengan rente politik.**

Penulis: M. Syainullah merupakan aktivis GMNI