JAKARTA, ZONAKALBAR.COM — Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Golkar, Franciscus Maria Agustinus Sibarani, menyoroti potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus tumpang tindih sertifikat lahan transmigran dengan hak guna usaha (HGU) di Kecamatan Sungai Melayu Rayak, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Baca juga:Dukung Pendidikan dan Kemanusiaan, Franciscus Sibarani Diapresiasi Peserta Catholic Youth Fest 2025
Baca juga:Franciscus Sibarani Kembali ke Manokwari, Menyusuri Jejak Investasi dan Pembangunan Papua
Dalam RDP Komisi XIII dengan Kementerian Hukum dan HAM, Sibarani mengungkap laporan masyarakat mengenai sertifikat hak milik (SHM) transmigran yang telah diterbitkan sejak 1991, namun kemudian bertumpang tindih dengan HGU yang terbit pada 2015 dan setelahnya.
Tumpang tindih lahan tersebut terjadi di tujuh desa, yaitu Sungai Melayu Jaya, Jairan Jaya, Mekar Jaya, Sungai Melayu Baru, Piansak, Karya Mukti, dan Beringin Jaya.
Baca juga:Memanas! MAKI Desa KPK Panggil Menantu Jokowi Ke Pengadilan, Kunci Kasus Proyek
“Masyarakat sudah menunggu kepastian hukum lebih dari lima tahun. Ini persoalan serius dan menunjukkan bahwa koordinasi lintas kementerian masih sangat lemah. Posisi Kementerian HAM dalam konteks lintas kementerian juga belum kuat, dan ke depan ini menjadi tantangan serius,” ujarnya, Senin (17/11/2025).
Sibarani menegaskan bahwa pemerintah harus hadir secara konkret untuk memastikan perlindungan masyarakat, terutama di wilayah transmigrasi dan perbatasan yang kerap menghadapi konflik struktural dengan perusahaan pemegang HGU.
Baca juga:Membaca Kepemimpinan Edi Rusdi Kamptono sebagai Walikota Pontianak
Ia menekankan bahwa persoalan ini tidak lagi sekadar isu administratif pertanahan, tetapi telah masuk ke ranah potensi pelanggaran HAM.
“Ini bukan sekadar masalah administrasi. Ini persoalan HAM masyarakat yang sudah puluhan tahun tinggal dan bekerja di atas tanah yang sah menurut negara,” pungkasnya.

