Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi

Oleh: Bung M. Syainullah

Alexis de Tocqueville dalam  Democracy in America  pernah menyatakan bahwa _“democracy is the habit of the heart.”_ Pernyataan ini, dalam lanskap filsafat politik, bukan sekadar pujian terhadap sistem demokrasi, melainkan refleksi tentang substansi terdalam dari kehidupan bernegara. Bagi Tocqueville, demokrasi bukanlah sekadar mekanisme elektoral, tetapi laku batin. Ia adalah kebiasaan spiritual yang menjelma dalam rasa tanggung jawab, dalam kesediaan mendengarkan suara minoritas, dan dalam kesadaran bahwa kekuasaan sejati berakar pada kesetaraan manusia.

*Namun benarkah demokrasi telah merasuk sampai ke jantung kehidupan politik kita hari ini? Ataukah justru hanya mengendap di permukaan sebagai prosedur tanpa makna?*

Untuk menjawab itu, kita harus kembali lebih jauh pada filsuf kontrak sosial: _Thomas Hobbes_ . Dalam _Leviathan_ , Hobbes melukiskan kondisi awal manusia dalam _state of nature_ sebagai keadaan di mana tidak ada hukum, tidak ada negara, dan setiap orang hidup dalam ketakutan yang mendalam terhadap kematian. _“The life of man,”_ tulis Hobbes, _“is solitary, poor, nasty, brutish, and short.”_ Oleh sebab itu, manusia kemudian membentuk negara untuk keluar dari kekacauan eksistensial itu. Namun apa yang mendorong mereka? Bukan cinta pada tatanan, melainkan ketakutan.

Dari sini kita melihat ironi besar dalam demokrasi modern. Meski lahir sebagai antitesis dari monarki absolut, demokrasi yang kita jalankan hari ini justru dikendalikan oleh ketakutan yang sama yaitu ketakutan akan kehilangan kekuasaan, ketakutan akan disingkirkan oleh mayoritas, ketakutan akan kehilangan akses pada sumber daya. Maka wajar jika demokrasi kita tidak mengarah pada kebebasan batin, melainkan pada kompetisi destruktif, korupsi struktural, dan penguasaan oleh oligarki yang menjelma sebagai “penguasa terpilih.”

Plato, dalam _The Republic_ , bahkan sejak awal telah mengkritik demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang paradoksal. Ia menggambarkannya sebagai sistem di mana kebebasan dijadikan alasan untuk memuaskan hasrat paling rendah. Ketika semua orang merasa memiliki hak yang sama untuk memerintah, maka yang terpilih bukanlah mereka yang bijak, melainkan mereka yang paling pandai membujuk, beretorika, dan memanipulasi opini publik. Dalam demokrasi, kata Plato, akan muncul para demagog, dan dari rahim demokrasi itu pula akan lahir tirani.

Apa yang dikatakan Plato dan Hobbes bukan untuk menolak demokrasi secara total, melainkan untuk menunjukkan bahwa demokrasi bukanlah kondisi alami manusia. Ia adalah capaian, bukan warisan. Ia memerlukan _habit of the heart_ ,seperti dikatakan Tocqueville dalam sebuah kebiasaan moral yang dibentuk, dijaga, dan diperjuangkan terus-menerus.

Sayangnya realitas demokrasi di Indonesia hari ini jauh dari cita-cita tersebut. Demokrasi di tanah air telah berubah menjadi ritual prosedural lima tahunan yang hanya melanggengkan _status quo_ . Kekuasaan bukan lagi alat untuk mewujudkan keadilan sosial, melainkan instrumen akumulasi modal dan distribusi rente politik. Oligarki ekonomi telah menyatu dengan oligarki politik. Dan rakyat, yang seharusnya menjadi subjek demokrasi, justru menjadi objek dari praktik-praktik manipulatif yang dikemas dalam bahasa populis dan janji pembangunan.

*Dalam kondisi seperti ini siapakah yang masih memiliki habitus moral untuk menolak, menggugat, dan membongkar struktur ketidakadilan? Di sinilah mahasiswa memegang posisi historis dan filosofis yang sangat penting.*

Mahasiswa bukan sekadar “kaum terpelajar.” Mereka adalah titik api dari nalar kritis yang seharusnya menjadi musuh alami dari kekuasaan yang membusuk. Ketika negara menjadi _Leviathan_ baru, yang merayap dalam segala aspek kehidupan dan menciptakan ketundukan massal, mahasiswa seharusnya hadir sebagai pengganggu. Bukan pengganggu ketertiban semu, tetapi pengganggu bagi kebekuan pikiran, untuk membangunkan kesadaran publik bahwa demokrasi yang berjalan hari ini bukanlah demokrasi yang dikehendaki para pendiri bangsa.

Rocky Gerung pernah mengatakan bahwa “demokrasi hari ini sedang kehilangan akal sehat.” Pernyataan ini tampak _nyinyir_,tapi tidak bisa dibantah. Demokrasi telah dibajak oleh retorika kosong, oleh ilusi keterwakilan, dan oleh elite politik yang memoles citra demi mempertahankan tahta. Demokrasi kita tumbuh tanpa daya pikir, tanpa pertanyaan filosofis, dan tanpa kehendak untuk memperbaiki diri. Ia menjelma menjadi demokrasi plastis yang tampil manis, namun busuk di dalam.

Maka jika demokrasi adalah kebiasaan hati, mahasiswa harus menjadi nurani kolektif dari bangsa yang sedang kehilangan arah. Jika negara hari ini menjelma sebagai _Leviathan_ yang menindas secara halus dan legal, maka mahasiswa harus menjadi pembawa obor kesadaran untuk mengingatkan bahwa negara bukanlah dewa, melainkan ciptaan manusia yang harus tunduk pada nilai dan etika.

Plato tidak sedang bicara tentang bentuk negara semata, Hobbes tidak sedang bicara soal ketertiban sosial belaka, dan Tocqueville tidak sedang menyanjung demokrasi tanpa syarat. Mereka semua mengingatkan kita bahwa politik, pada dasarnya, adalah medan pergulatan antara kehendak untuk berkuasa dan kehendak untuk bermoral.

Dan dalam pertarungan itu, peran mahasiswa bukanlah sebagai penonton namun hadir sebagai corong keluh kesah moral dari akar rumput yang tak pernah sampai pada telinga sang penguasa!

Penulis : Bung M. Syainullah adalah Pegiat Demokrasi Kontemporer

Komentar