OPINI: Pemilu 2024 dan Tantangan Politik Identitas
Penulis: Zubairi
Tak lama lagi rakyat Indonesia akan memilih kembali DPR, DPD dan Presiden dan wakil Presiden. Tepatnya, hajatan lima tahunan itu akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Bahkan riuhnya pun mulai terdengar, dinamikanya mulai terasa, intriknya sudah dimainkan, bahkan siapa didukung siapa mulai tampak satu persatu, dan yang jelas partai-partai politik yang memiliki kuasa mencalonkan legislatif dan eksekutif mulai memanaskan mesin politik mereka, ada juga yang sudah ‘test drive’ untuk melihat gelombang besar. Namun yang terpenting dari segala dinamika tersebut harus tetap satu tujuan, sesuai semboyan “bhinneka tinggal ika.”
Pada pemilu 2024 tampak hanya ada perubahan aransemen dan formasi saja, untuk isu dan aktornya masih sama. Sehingga Kemungkinan isu dan propaganda yang dimainkan masih cara-cara lama. Misalnya, isu PKI, identitas-agama, kofar-kafir dan beberapa janji-janji manis. Namun meski cara lama, tak boleh dianggap remeh. Sebab meski menggunakan cara-cara kampungan semacam itu, kerawanan memecah belah itu sangat berpotensi. Mengingat politik Identitas memiliki kesamaan dengan politik adu domba masih renyah dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Baca Konten Lainnya:
Bukan lagi rahasia, bahwa setiap momentum hajatan Lima tahunan ini selalu diwarnai dengan politik Identitas-agama dan sub-turunannya, tak hanya saat pemilu bahkan juga ketika Pilkada. Pada Posisi ini demokrasi yang diyakini sebagai wujud “kedaulatan rakyat” tampak dilema bahkan anomali. Di sisi lain, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi memberi jaminan keadilan dalam pemilu, namun di sisi lain arus isu identitas juga begitu deras menyebar di ruang-ruang publik dan terus dipropagandakan.
Belajar dari pengalaman yang terjadi taatkala ketegangan pada pemilu 2019 dan sebelumnya di Pilkada DKI yang menciptakan sebuah kegaduhan, Intimidasi dan intervensi yang begitu luar biasa dam masih membekas hingga saat ini, bukan tidak mungkin hal itu juga terulang kembali pada pemilu dan pilkada 2024 nanti. Mirisnya, ketegangan yang terjadi saat itu bukan bagaimana adu gagasan visi-misi, melainkan ancaman kepada kepada individu, contoh narasi-narasi yang bertebaran itu, seperti “bila tidak mendukung si pulan dianggap kafir, tidak mau disholatkan ketika meninggal dunia dan seterusnya” bahkan hal tersebut dipasang di tempat-tempat umum. Kondisi seperti itulah yang mesti dikhawatirkan, sebab bilamana demokrasi tersebut hanya sebuah ajang yang demikian, berarti kita menghadapi tantangan pemilu atau pun pilkada yang begitu beratnya.
Tantangan Politik Identitas
Politik Identitas masih potensi digoreng untuk menjadi santapan pada pemilu dan Pilkada 2024 nanti. Bahkan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja ketika menjadi narasumber dalam FGD Seminar Nasional Lemhannas RI tentang Tantangan Pemilu 2024 : Mereduksi Politik Identitas di Gedung Lemhannas RI, Jakarta pada 30 Juni 2022 memprediksi politik identitas dapat menjadi tren pelanggaran yang semakin marak digunakan dalam pesta demokrasi.
Rahmat Bagja juga menyebut bahwa Politik identitas dieksploitasi dan dikapitalisasi oleh elit seperti konsultan politik, anggota parpol, tim sukses, elit ormas dengan bentuk penyebaran isu, hoax dan politik identitas.
Kemudian ada juga pernyataan Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas dalam acara diskusi Investor Daily Summit 2022 bertajuk ‘Understanding Indonesia’s Social Politic Landscape: Impact on Economic Growth and Investment Climate’ di Jakarta Convention Center pada 11 Oktober 2022, menyebut Bahwa politik identitas akan dimanfaatkan oleh para elite politik sebagai alat bargaining politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Selain karena keyword politik Identitas masih menjadi tren keterlibatan Elit atau aktor yang bermain di masing-masing level yang memiliki peranan strategis menyebarkan Isu-Politik Identitas pada kapasitas ruangnya. Misalnya, aktor penting agama, aktor ormas, aktor suku dan aktor kepemudaan serta lainya bermain di ruangnya masing-masing untuk menyebarkan isu.
Ketika aktor kunci, siapa dan dimana politik Identitas tersebut disebarkan, maka celah tersebut perlu diwaspadai. Sehingga kemudian antisipasi dan edukasi dini juga perlu dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk mewujudkan demokrasi atau pemilu yang ideal, seperti bunyi asasnya yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 22E, bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
PR ini bisa saja diselesaikan, namun apakah bisa menjawab dengan benar hal tersebut masih tanda tanya. Karena keterlibatan aktor atau elit yang memainkan isu Identitas, realitasnya harus mampu dibalik dengan menjadikan aktor dan elit tersebut sebagai corong demokrasi yang diharapkan. Soal bagaimana strategi dan pendekatannya penyelenggara pemilu dan aparatur negara yang berwenang lainnya lebih memiliki data, metode apa yang perlu dilakukan dan tepat pastinya mereka punya pengalaman yang bisa dijadikan evaluasi sehingga bisa mengambil pendekat tepat pula.
Kesadaran Kolektif
Dalam teori klasik yang disebutkan Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Pernyataan ini memiliki relevansi dengan kedaulatan politik rakyat yang dimiliki bangsa ini, salah satunya pemilu sebagai wujud demokrasi yang bertujuan suci.
Dalam buku berujudul “Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan Isu Strategis” yang ditulis Labolo, Muhadam dan Teguh Ilham pada 2017. Menyebutkan dalam kehidupan politik modern yang demokratis, pemilu berfungsi sebagai suatu jalan dalam pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika.
Artinya, pemilu sebagai ruang dialektika politik, dimana rakyat ikut terlibat langsung memberikan suaranya, tidak bisa digunakan hanya sebagai alat mencapai kekuasaan saja. Namun juga digunakan sebagai alat mencapai kebaikan, keadilan dan kesejahteraan melalui jalan regulasi dan tindakan politik yang bermoral dan beretika.
Namun mirisnya, praktek demokrasi yang tampak penuh amoral dan jauh dari etika bahkan tak patuh kepada regulasi sudah mendarah daging, sehingga memunculkan kesan bahwa politik hanya semata-mata merebut kekuasaan dengan jalan apa saja boleh dilakukan termasuk melalui jalan politik identitas-agama, dengan mengabaikan dampak-dampak krusial.
Catatan hitam demokrasi dalam kepemiluan inilah yang perlu ditekan oleh pengaruh keterlibatan penyelenggara. Karena selain memiliki tugas dan wewenang juga tersedia fasilitas, sarana dan prasarana untuk mengedukasi untuk menciptakan kesadaran kolektif para elit parpol, ormas, agama, pemuda, dan elit lainnya melalui pendekatan yang edukatif. Bahkan bila cara tersebut belum mampu dimaksimalkan, penyelenggara masih memilki kewenagan melalui penindakan hukum yang tegas.