Oleh: Bung M. Syainullah
Di era yang seharusnya telah meninggalkan kolonialisme fisik, Indonesia justru tenggelam dalam bentuk kolonialisme yang lebih licin dan kompleks yaitu kolonialisme oligarki. Jika pada masa lalu penjajahan dilakukan secara kasatmata oleh bangsa asing, maka hari ini penjajahan itu dilakukan oleh segelintir elite domestik yang berselingkuh dengan kekuatan global. Mereka bukan hanya menguasai sumber daya, tetapi juga mendefinisikan realitas: siapa yang dianggap pahlawan, siapa yang berhak bicara, dan siapa yang harus tetap bungkam.
Oligarki modern di Indonesia bukan sekadar kumpulan orang kaya, melainkan struktur kekuasaan yang menyatukan modal, media, hukum, dan birokrasi ke dalam satu jaringan kendali. Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy menyatakan bahwa oligarki bertahan bukan karena jumlahnya besar, tetapi karena kemampuan mereka mengorganisir kekayaan untuk mempertahankan kekuasaan. Di Indonesia, sepuluh orang terkaya menguasai lebih dari 90% kekayaan nasional, angka ini lebih buruk dari masa Hindia Belanda, di mana pada 1930-an pun tidak terjadi ketimpangan setajam ini. Kekuasaan ekonomi ini berpadu dengan kekuasaan politik, menghasilkan demokrasi yang bersifat kosmetik namun secara substansial telah direduksi menjadi arena akrobat oligarkis.
Sektor pertambangan adalah contoh paling telanjang dari kolonialisme baru ini. Berdasarkan data dari _Publish What You Pay Indonesia (2023)_ , lebih dari 70% konsesi tambang batubara dan nikel dimiliki oleh grup usaha yang terafiliasi langsung dengan elite politik baik melalui partai, keluarga, maupun jaringan bisnis gelap. Sementara itu, masyarakat lokal hanya kebagian limbah, polusi, dan penggusuran. Dalam banyak kasus, masyarakat adat dan petani yang mempertahankan tanahnya justru dikriminalisasi atas nama pembangunan. Di sinilah hukum kehilangan makna keadilan, dan menjadi alat represi atas nama investasi.
Plato dalam _The Republic_ telah mengingatkan bahaya sistem yang dikuasai oleh apa yang ia sebut sebagai _“tyranny of wealth”_ tirani kekayaan. Ketika negara tidak lagi diatur oleh para filsuf atau negarawan yang bijak, tetapi oleh para pedagang besar dan pemilik modal, maka hukum akan tunduk kepada kepentingan kapital, bukan kepada nilai-nilai moral. Ironisnya, demokrasi yang seharusnya menjadi perisai rakyat justru menjadi kendaraan oligarki untuk melegitimasi kekuasaannya.
Jika kita menelusuri lebih dalam, realita ini adalah buah dari transformasi sistemik sejak era reformasi. Alih-alih membongkar rezim oligarkis Orde Baru, reformasi justru melahirkan bentuk baru kekuasaan yang lebih tersembunyi. Partai politik menjadi korporasi kekuasaan, di mana kursi legislatif diperdagangkan seperti saham, dan jabatan eksekutif dibeli dengan mahar politik. Demokrasi menjadi transaksi, bukan representasi. Inilah yang digambarkan oleh _Slavoj Žižek_ sebagai *“democracy of appearances”* di mana semua simbol demokrasi hadir, namun maknanya telah dikosongkan dari dalam.
Sementara itu, masyarakat akar rumput dibiarkan sibuk dengan beban hidup harian: harga beras yang melonjak, upah yang stagnan, lapangan kerja yang kian langka, dan tanah yang dirampas atas nama proyek strategis nasional. Mereka tidak hanya menjadi korban dari kebijakan, tetapi juga dari narasi. Media massa, yang sebagian besar telah dibeli oleh kelompok oligarki, membentuk opini publik agar menerima eksploitasi sebagai “pembangunan”, dan menjadikan perlawanan rakyat sebagai ancaman terhadap stabilitas.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaannya bukan lagi “apakah rakyat sadar?”, tetapi “apakah rakyat diberi ruang untuk menyadari?” _Gramsci_ menyebut kondisi ini sebagai *hegemoni*, di mana penguasa bukan hanya mengendalikan alat produksi, tetapi juga alat reproduksi kesadaran. Pendidikan, agama, hiburan, dan informasi telah diarahkan untuk membuat rakyat menerima ketertindasan sebagai bagian dari takdir.
Namun, sejarah mengajarkan bahwa hegemoni tidak pernah abadi. Suatu ketika, akumulasi ketimpangan akan melahirkan kesadaran baru. Dalam konteks Indonesia, kesadaran itu tidak dapat muncul jika kita terus meminjam kacamata ideologi asing. Kita perlu menggali kembali filosofi pembebasan dari tanah kita sendiri: Marhaenisme, Islam progresif, kearifan lokal, dan nilai gotong royong sebagai jalan untuk membongkar struktur kolonialisme oligarki yang membelenggu republik ini.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya, tetapi kekurangan kehendak politik yang merdeka. Kita tidak miskin karena takdir, tetapi karena pilihan sistemik. Dan selama sistem itu tetap dikendalikan oleh minoritas pemilik modal yang mengaku sebagai pemimpin, maka demokrasi hanyalah panggung sandiwara, di mana rakyat diberi hak memilih siapa yang akan menindas mereka lima tahun ke depan.**
Komentar