Judul Opini: Tinggalkan Politik Berbasis Identitas Sebagai Paradigma Kontra Produktif
Penulis: Muhammad Darwin
Sektretaris DPD Gerakan Pemuda Marhaenis Kalimantan Barat
Politik berbasis identitas, adalah politik yang berputar sekitar penggarapan isu-isu yang sebenarnya non substansial esensial terkait tujuan suci politik sebagai sarana untuk menghasilkan kekuasaan yang dapat menciptakan, mendistribusikan, dan mengawal , keadilan, keamanan dan kesejahteraan kepada masyarakat. Selanjutnya politik dapat dikatakan sebagai salah satu alat dalam pembangunan peradaban.
Dalam basis pemikiran politik ini, identitas primordial (etnis, ras, ciri fisik, budaya, bahasa atau agama) dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, dengan tujuan mendapat dukungan dari orang atau massa yang merasa ‘sama’ secara identitas, baik secara ras, etnisitas, agama maupun elemen perekat lainnya.
Politik identitas sangat potensial menimbulkan intoleransi dan perpecahan di masyarakat, padahal toleransi dan persatuan adalah syarat awal bagi proses pembangunan diberbagai bidang pada suatu masyarakat. Maka dapat dikatakan bahwa, paradigma yang mengedepankan sisi-sisi ‘perbedaan’ non substansial dalam politik identitas ini adalah kontra produktif dengan tujuan membangun dan meningkatkan kemajuan peradaban dalam suatu komunitas masyarakat, khususnya pada masyarakat modern yang mana pluralitas adalah sesuatu yang tidak terhindarkan.
Baca konten lainnya:
Pemilu 2024 dan Tantangan Politik Identitas
Ketika Syamsul Ma&arif& Disebut KITAB Sihir oleh Si Anak Kemaren Sore
Memang politik identitas menjadi hal yang menarik bagi sebagian politisi, karena diantaranya dapat menutupi sisi-sisi negatif dari sosok yang diusung semisal kurangnya intelektualitas atau kecacatan moral yang dapat dijejaki secara historis. Politik berbasis identitas adalah strategi politik yang paling tidak kreatif. Namun pada beberapa kasus dapat menjadi alat politik yang paling efektif dan efisien jika dihubungkan dengan jumlah hasil dukungan yang diperoleh.
Lebih menekankan pada narasi-narasi emosional yang kadang menjurus pada ungkapan-ungkapan kebencian terhadap kelompok identitas yang dianggap berbeda. Saat emosi sekterian yang dibidik, maka dengan sendirinya tingkat nalar kritis intelektual seseorang menjadi lebih tumpul atau setidaknya berkurang.
Politik murahan ini pada akhirnya adalah bentuk pembodohan terhadap masyarkat. Masyarakat tidak lagi melihat kemampuan riil kepemimpinan, kenegarawanan, manajerial, moralitas dan intelektualitas dari seseorang tetapi justru menutup mata terhadap hal-hal tersebut karena dibutakan oleh narasi dan diksi fanatisme emosional yang semu. Sebagai gantinya massa beralih pada hal-hal non substansial semisal ciri-ciri fisik, kesukuan, atribut agama artifisial dan yang sejenisnya.
Sebagai konsekuensi logis dari politik identitas adalah, mereka yang terpilih sebagai pemimpin politik bukanlah mereka yang memiliki kapabilitas yang dibutuhkan untuk menciptakan kemajuan disegala bidang pada suatu masyarakat dalam wilayah tertentu, tetapi justru sebaliknya, yang terpilih adalah para pembuat masalah yang bisa jadi cacat secara moral dengan tingkat intelektual minimum. Pemimpin seperti ini potensial menularkan handikapnya kepada semua elemen di dalam sistem, dan tentu saja akan meninggalkan tradisi korup setelah masa jabatannya berakhir. Belum lagi perpecahan sosial yang ditimbulkannya yang dampaknya akan lebih panjang dirasakan oleh masyarakat.
Sudah saatnya sekarang kita memutus rantai tradisi politik paling primitif seperti praktik politik identitas ini. Sebagai gantinya masyarakat harus mendasarkan pilihan kepemimpinan politiknya pada hal-hal yang bersifat rasional. Pada ciri-ciri atau indikator-indikator karakter yang lebih substantif yang wajib dimiliki oleh sosok pemimpin politik, seperti moralitas, integritas, empati, kepemimpinan, kapasitas intelektual, kenegarawanan, manajerial, kemampuan komunikasi, dan yang sejenisnya.
Kapasitas seorang pemimpin dapat pula dinilai melalui gagasan-gagasan inovatif yang tawarkannya. Memang ketika seorang kandidat pemimpin politik suatu wilayah ingin mengajukan dirinya, maka seharusnya dia datang dengan gagasan-gagasan segar inovatif namun tetap realistis dan membumi. Bukan dengan menjual atribut primordialisme artifisial yang bahkan diperoleh tanpa ikhtiar sama sekali, karenanya tidak dapat dinilai sebagai sebuah prestasi.
Pemimpin yang baik itu menyatukan dengan mengedepankan irisan persamaan bukan memecah belah atau melakukan politik segregasi warisan kolonialis imperialis. Penyatuan tidak serta merta menghilangkan akar spritualitas dan ciri budaya dari masing-masing komunitas, tetapi justru menguatkannya dengan cara yang positif, menjadikannya sebagai aset sosial pemersatu sebagai modal dasar bagi bergeraknya pembangunan disegala bidang. Sebenarnya setiap agama dan budaya memiliki nilai-nilai kebaikan universal yang sama (filsafat perennial), karenanya irisan inilah yang seharusnya dikedepankan dalam konteks interaksi sosial dan politik di masyarakat.
Sebagai penutup dapatlah disimpulkan pada paparan singkat kali ini, bahwa rasionalitas dan moralitas universal haruslah menjadi dasar dalam melakukan pemilihan pemimpin politik di suatu masyarakat dalam suatu wilayah tertentu, baik skop desa, kota / kabupaten, provinsi, sampai ke tingkat negara. Rasionalitas dan Moralitas Universal ini digunakan sebagai alat dalam menilai dan menganalisis gagasan-gagasan yang disampaikan oleh seorang kandidat pemimpin politik. Sehingga kelak masyarakat akan memilih Pemimpin yang Berbasis Gagasan, yang secara validitasnya tentu lebih bisa diukur kemampuan kepemimpinannya daripada mereka yang hanya menjual ciri-ciri primordial non substansial.
Sekali lagi pilihlah pemimpin berbasis gagasan. Putus rantai paradigma politik identitas yang kontra produktif. Mari ciptakan harmoni dalam persatuan.
.