Oleh: M. Syainullah
Kekuasaan bukan hanya soal dominasi sosial atau struktur politik, kekuasaan menyusup jauh ke dalam sistem saraf manusia, memengaruhi cara kita merespons, memahami, dan merasakan keberadaan orang lain. Inilah temuan utama dari penelitian yang berjudul _”Power Changes How the Brain Responds to Others”_ oleh Jeremy Hogeveen, dkk (2014), yang menjadi titik pijak refleksi neurofilosofis tentang “bagaimana kekuasaan dapat menumpulkan empati secara biologis.”
Baca: Refleksi 27 Tahun Indonesia Pasca Reformasi
Melalui pendekatan eksperimental yang menggunakan teknik _Transcranial Magnetic Stimulation_ (TMS), para peneliti mengukur aktivitas _motor resonance_ pada otak dimana respons saraf yang biasanya aktif ketika seseorang mengamati tindakan orang lain. _Motor resonance_ ini merupakan bagian dari sistem neuron cermin, fondasi biologis empati yang memungkinkan kita “merasakan” gerakan dan intensi orang lain seolah-olah itu milik kita sendiri. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian yang ditempatkan dalam kondisi berkuasa mengalami penurunan signifikan dalam aktivitas ini.
_“High-power participants demonstrated lower levels of resonance than low-power participants,”_ tulis mereka, menandakan bahwa kekuasaan secara langsung menghambat kemampuan otak untuk melakukan pencerminan sosial.
Baca: Ketika Peluru Menentukan Moral: Kontraktualisme dalam Bayang-Bayang The Godfather II
Penurunan ini bukan sekadar fenomena psikologis, tetapi perubahan neurofisiologis yang nyata. Kekuasaan dalam eksperimen tersebut, tidak hanya mengubah perilaku, tetapi juga mengubah cara otak merespons keberadaan orang lain. Dalam kondisi berkuasa, individu cenderung mengalami penurunan sensitivitas terhadap tindakan dan ekspresi orang lain, yang pada gilirannya mengurangi kapasitas empatik mereka. Temuan ini memperkuat gagasan bahwa kekuasaan dapat menciptakan jarak neurologis antara penguasa dan yang dikuasai.
Baca: Ketika Peluru Menentukan Moral: Kontraktualisme dalam Bayang-Bayang The Godfather II
Lebih lanjut, jurnal ini mengaitkan penurunan _motor resonance_ dengan berkurangnya kemampuan _perspective-taking_, yaitu kemampuan untuk memahami sudut pandang orang lain. Ini bukan hanya soal tidak peduli, tetapi ketidakmampuan biologis yang dipicu oleh posisi sosial dominan. Dalam konteks ini, kekuasaan menjadi agen dehumanisasi yang bekerja secara halus namun sistemik, mengubah cara otak memproses interaksi sosial.
Presiden Prabowo Tetapkan IKN Jadi Ibu Kota Politik Indonesia
Temuan ini memiliki implikasi luas terhadap desain institusi dan praktik kepemimpinan saat ini, dimana jika kekuasaan secara biologis menumpulkan empati, maka struktur kekuasaan harus dirancang untuk menyeimbangkan dominasi dengan mekanisme refleksi dan partisipasi. Forum kebijakan, ruang publik, dan sistem representasi harus memberi ruang bagi suara-suara yang tidak berkuasa, agar resonansi sosial tetap terjaga.
Baca: Manifesto Politik Kekuasaan Presiden Prabowo
Hasil riset lainnya juga memperkuat hasil penelitian tersebut, salah satunya adalah hasil penelitian Galinsky, dkk (2006) yang berjudul “Power and Perspectives Not Taken” dimaba menunjukkan bahwa individu yang merasa berkuasa cenderung kehilangan kemampuan “_perspective-taking_”nya. Dacher Keltner bukunya yang berjudul _The Power Paradox_ (2016) menegaskan bahwa kekuasaan yang tidak diimbangi dengan empati akan menumbangkan landasan moral seseorang.
_“Power tends to make people more impulsive, less risk-aware, and, crucially, less empathetic,”_ tulisnya, menandakan bahwa hilangnya resonansi sosial bukan hanya masalah etika, tetapi juga risiko perilaku.
Baca: Eksperimen Milgram: Kepatuhan Merubahmu jadi Pembunuh
Zaki dan Ochsner (2012) menambahkan bahwa empati bukan sekadar respons emosional, melainkan proses kognitif kompleks yang melibatkan motivasi dan fungsi mental. Ketika motivasi untuk memahami orang lain menurun, keruntuhan empati pun menjadi keniscayaan. Simone Weil menyebut bahwa kekuasaan absolut lambat laun dapat “membunuh jiwa” pelaku dan korban. Sementara Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975) menyoroti bagaimana dominasi menciptakan jarak epistemik antara penguasa dan yang dikuasai. Martin Buber, dengan konsep relasi “Aku-Kau” versus “Aku-Itu”, menunjukkan bahwa kekuasaan memaksa kita berpindah dari relasi manusiawi menuju reduksi manusia sebagai objek.
Baca: Kritik Paradigma Materialisme Dialektis dalam Epistemologi Marxisme
Implikasi dari semua ini jelas bahwa, kekuasaan yang tidak diimbangi dengan resonansi sosial akan memperdalam jurang alienasi. Maka menjaga empati di tengah otoritas bukan hanya soal moralitas individual, tetapi ujian tertinggi kemanusiaan dalam kekuasaan. Jika kekuasaan meredam getaran otak terhadap empati, maka kebijaksanaan sejati terletak pada kemampuan kita menyalakannya kembali tentang apa yang seharusnya manusia lakukan melalui desain sosial yang adil, kepemimpinan yang reflektif, dan keberanian untuk mendengarkan mereka yang tak bersuara menjadi sebuah keharusan.**

