Oleh: Felix Richardo
“If you hold a gun and I hold a gun, we can talk about the law… The law, rules, and morality only hold meaning when they are based on equality.” – The Godfather II (1974)
Ada kalanya sebuah kutipan dari film bukan sekadar dialog, melainkan cermin tajam yang memantulkan wajah asli dari tatanan sosial kita. Kalimat dari The Godfather II ini bukan hanya tentang senjata, tapi tentang keseimbangan kekuasaan. Ia menyiratkan bahwa hukum dan moralitas hanya bisa berdiri tegak bila semua pihak berdiri di tanah yang sama rata. Jika satu tangan menggenggam senjata dan yang lain kosong, maka “kebenaran” tak lagi lahir dari mufakat, melainkan dari intimidasi.
Baca: Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi
Dalam ranah filsafat politik, kesetaraan bukanlah bonus, melainkan fondasi. Hobbes, dalam Leviathan (1651), mengusulkan bahwa demi ketertiban, manusia menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara. Tapi gagasan itu hanya sah bila semua pihak memiliki daya tawar yang seimbang. Jika ada yang memegang senjata, sementara yang lain hanya memegang harapan, maka kontrak sosial itu berubah menjadi kontrak paksaan.
Locke, lewat Two Treatises of Government (1689), menekankan pentingnya perlindungan atas hak milik dan kebebasan individu. Namun, dalam kenyataan yang dikuasai oleh modal dan senjata, hukum tak lagi menjadi pelindung, melainkan tameng bagi mereka yang sudah menang sebelum permainan dimulai.
Baca: Eksperimen Milgram: Kepatuhan Merubahmu jadi Pembunuh
Rousseau pernah menulis, “Manusia dilahirkan bebas, namun di mana-mana ia terbelenggu.” Kini belenggu itu bukan lagi rantai besi, melainkan struktur sosial yang timpang. Ketika uang berbicara, kebenaran memilih diam. Ketika kekuasaan bersuara, bahkan uang pun tahu diri. Maka yang tersisa bukanlah hukum, melainkan hierarki yang tak bisa digugat.
Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1944) mengingatkan bahwa rasionalitas modern telah berubah menjadi alat dominasi. Mereka menunjukkan bahwa sistem sosial bukanlah ruang netral, dan bahwa “kebenaran” bisa dikonstruksi oleh mereka yang menguasai narasi dan sumber daya. Dalam lanskap seperti itu, aturan tak lagi menjadi jembatan keadilan, melainkan jerat bagi yang tak berdaya.
Baca: Potensi Ekonomi Digital Indonesia: Proyeksi dan Tantangan di Tahun 2025
Rawls, lewat A Theory of Justice (1971), mencoba mengembalikan kesetaraan melalui konsep “veil of ignorance” sebuah tirai yang menutupi posisi sosial kita saat merancang keadilan. Tapi dalam praktiknya, tirai itu sering kali sudah disingkap oleh mereka yang tahu bahwa mereka berada di puncak. Maka “keadilan” pun menjadi milik eksklusif mereka yang berkuasa.
Di Indonesia, kita melihat bagaimana hukum bisa lentur saat berhadapan dengan kekuasaan. Korupsi besar dibiarkan, demonstran dibungkam, dan proyek infrastruktur mengorbankan rakyat kecil atas nama “pembangunan”. Senjata, uang, dan jabatan masih menjadi penentu siapa yang boleh bicara tentang hukum. Kutipan dari The Godfather II bukan sekadar sinisme, tapi alarm keras bahwa dalam dunia yang timpang, hukum bisa menjadi bayang-bayang dari peluru.
Baca: Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi
Jika kita sungguh ingin membangun masyarakat yang adil, maka kesetaraan bukanlah tujuan akhir, melainkan titik awal. Tanpa kesetaraan, kontrak sosial hanyalah topeng dari dominasi. Dan hukum, yang seharusnya menjadi pelindung, berubah menjadi gema dari suara yang paling lantang yaitu kekuasaan.**

