Kritik Paradigma Materialisme Dialektis dalam Epistemologi Marxisme

Oleh: M. Syainullah

“Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara. Yang penting adalah mengubahnya.” —Karl Marx, Theses on Feuerbach, 1845

Kalimat ini bukan sekadar retorika revolusioner, namun ini adalah fondasi dari epistemologi Marx yang menolak kontemplasi pasif dan menuntut praksis aktif. Dalam pandangan Marx, pengetahuan bukanlah cermin dari dunia, melainkan alat untuk mengubahnya. Di sinilah lahir paradigma materialisme dialektis dimana metode tentang cara berpikir yang melihat dunia sebagai arena konflik material yang terus bergerak dan berubah.

BACA JUGA: Manifesto Politik Kekuasaan Presiden Prabowo

Materialisme dialektis Marx adalah sintesis dari dua warisan besar yaitu materialisme klasik dan dialektika Hegelian. Marx menolak idealisme metafisik Hegel, namun tetap mengadopsi struktur dialektikanya. Dalam Das Kapital (1867), Marx menunjukkan bahwa relasi produksi bukan hanya membentuk ekonomi, tetapi juga kesadaran sosial dan ideologi. Marx kemudian menulis, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tetapi keberadaan sosialnya yang menentukan kesadarannya” (A Contribution to the Critique of Political Economy, 1859).

Baca juga: Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi

Kritik Karl Kautsky, dalam The Social Revolution (1902), memperingatkan bahwa materialisme dialektis bisa berubah menjadi determinisme historis yang mengabaikan peran etika dan demokrasi. Ia menolak gagasan bahwa revolusi adalah keniscayaan, dan menekankan pentingnya analisis konkret dalam perjuangan kelas.

Franz Magnis-Suseno, dalam Etika Politik (1991), sepakat bahwa Marxisme gagal menjelaskan mengapa manusia harus memperjuangkan keadilan jika semua tindakan hanya ditentukan oleh struktur ekonomi. Ia menulis, “Marxisme tidak memberi ruang bagi etika universal, karena moralitas dianggap sebagai refleksi dari kepentingan kelas.”

Baca juga: Manifesto Politik Kekuasaan Presiden Prabowo

Immanuel Kant, dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785), menekankan bahwa manusia adalah tujuan, bukan alat. Kritik ini relevan ketika materialisme dialektis terlalu menekankan manusia sebagai produk struktur, bukan sebagai subjek moral yang otonom.

Horkheimer dan Adorno dalam Dialectic of Enlightenment (1944), melanjutkan kritik terhadap Marxisme klasik. Mereka menunjukkan bahwa rasionalitas modern, yang semula dianggap sebagai alat pembebasan, justru berubah menjadi instrumen dominasi. Dalam masyarakat kapitalis lanjut, kesadaran palsu dibentuk oleh budaya massa, dan revolusi menjadi ilusi yang dikendalikan oleh industri ideologi.

Paradigma materialisme dialektis tetap penting sebagai alat analisis dimana ia mengajarkan bahwa dunia tidak netral, dan bahwa perubahan sosial membutuhkan kesadaran historis. Namun ia juga harus dibuka terhadap kritik dari etika, dari budaya, dan dari pengalaman lokal. Karena jika dialektika hanya menjadi dogma, maka ia berhenti menjadi alat pembebasan.

Di Indonesia itu sendiri, Marhaenisme yang dirumuskan oleh Soekarno adalah upaya menyempurnakan materialisme dialektis agar sesuai dengan realitas lokal. Marhaen bukan proletar dalam pengertian Marx, melainkan rakyat kecil yang memiliki alat produksi namun tidak cukup untuk hidup layak. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila (1945), Soekarno menyatakan bahwa Marhaenisme adalah jalan pembebasan rakyat dari struktur ekonomi yang menindas. Ia menolak revolusi berdarah, dan memilih jalan politik yang berpijak pada keberdayaan rakyat.

Baca juga: Refleksi 27 Tahun Indonesia Pasca Reformasi

Marhaenisme bukan sekadar adaptasi, tetapi koreksi. Ia menggabungkan kesadaran kelas dengan semangat nasionalisme dan etika kolektif. Di tengah kritik terhadap determinisme Marx dan kegagalan institusi modern dalam membebaskan manusia, Marhaenisme menawarkan jalan tengah yaitu, perubahan sosial yang berpijak pada realitas, bukan utopia, pada keberpihakan, bukan dogma.

Baca juga: Kekerasan Aparat dan DPR yang Menjauh dari Rakyat

Paradigma materialisme dialektis, jika tidak dibuka terhadap kritik dan lokalitas, akan kehilangan relevansi. Namun jika disempurnakan melalui praksis seperti Marhaenisme, ia bisa menjadi alat pembebasan yang konkret. Karena pada akhirnya, epistemologi Marx bukan tentang teorema absolut tetapi tentang keberanian untuk mengubah dunia dengan akal, dengan keberpihakan, dan dengan kesadaran bahwa manusia bukan hanya makhluk ekonomi, tetapi juga makhluk moral dan historis.**