Kekerasan Aparat dan DPR yang Menjauh dari Rakyat

Penulis : Haidar Alli Yahya R. Mahasiswa Hukum Tatanegara IAIN Pontianak

Dalam negara hukum, aparat seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan menjadi sumber ketakutan. Namun yang kita saksikan berulang kali adalah kekerasan aparat terhadap aksi massa.

Padahal, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Artinya, demonstrasi adalah hak konstitusional, bukan kejahatan.

Ketika aparat menggunakan kekerasan berlebihan, itu bukan hanya pelanggaran etika, melainkan juga pelanggaran hukum. Prinsip due process of law dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijamin dalam UU No. 39 Tahun 1999 sering kali diabaikan. Ironis, negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan ketika suara rakyat dijawab dengan gas air mata dan pentungan.

BACA JUGA:

Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi

Keluarga Besar Papua Dan Mahasiswa Papua Kalbar Dukung Pesta Demokrasi 2024

Lebih menyakitkan lagi, DPR yang seharusnya menjadi pengawas jalannya pemerintahan dan pelindung kepentingan rakyat sering kali tidak berpihak. Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Namun, fungsi itu kerap macet ketika berhadapan dengan kepentingan rakyat. Bukannya mengkritik kekerasan aparat, DPR justru lebih sibuk mengurus fasilitas, gaji, dan dinamika politik internal.

Di sinilah kontradiksi hukum dan moral terjadi. Rakyat dijamin hak-haknya dalam konstitusi, tetapi implementasinya sering dibungkam. Aparat melanggar hukum, namun jarang ada akuntabilitas. DPR memiliki kewajiban hukum untuk mengawasi, tetapi lebih sering menutup mata.

Kritik terhadap DPR dan aparat bukan semata-mata persoalan politik, melainkan persoalan tegaknya hukum. Demokrasi tanpa perlindungan hukum hanya akan melahirkan tirani mayoritas. Negara hukum tanpa keberpihakan pada rakyat hanyalah jargon kosong. Jika hukum hanya berpihak pada elite, maka sesungguhnya kita sedang hidup dalam legalisasi ketidakadilan.

Sudah saatnya DPR kembali kepada mandat konstitusionalnya. Jika tidak, kepercayaan publik akan terus runtuh, dan rakyat akan melihat DPR bukan sebagai wakilnya, melainkan sebagai simbol pengkhianatan hukum dan demokrasi.**

Note: Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab Penulis.