Oleh: Haidar Ali Yahya Aktivis GMNI
ZONA KALBAR – Hari ini, kita menyaksika bagaimana negara bergerak cepat untuk menyita aset yang dianggap tak produktif —rekening diam diblokir, tanah tidur disita. Tapi ironisnya, jutaan rakyat yang diam dalam pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan justru dibiarkan. Tak ada pengambilalihan, tak ada darurat. Negara terlalu sibuk mengurusi angka-angka, hingga lupa bahwa manusia juga punya perut dan harga diri.
“Politik tidak lain adalah usaha untuk membebaskan manusia dari penindasan.”
— Bung Karno
BACA JUGA:
Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi
Opini Penggunaan Media Digital Di Daerah Terpencil
Bedah Buku, Cornelis Mendengar Rakyat Dari Rakyat
Namun hari ini, politik justru jadi alat untuk menindas secara halus. Rakyat didorong untuk patuh dan produktif, padahal sistem tak memberi mereka alat untuk hidup layak. Ketika orang miskin disalahkan karena miskin, dan negara mencuci tangannya dengan narasi pembangunan, maka itu bukan kemajuan — itu pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. “Satu-satunya kemewahan bagi kaum tertindas adalah perlawanan.”
— Che Guevara
Negara ini memanjakan elite, tapi mempermalukan yang lemah. Bantuan sosial dijadikan alat kendali, proyek nasional jadi ruang bancakan. Sementara itu, petani kehilangan tanahnya, buruh kehilangan tenaganya, dan rakyat kehilangan harapannya.
“Revolusi tidak bisa hanya mengganti orang, tetapi harus mengganti dasar masyarakat yang timpang itu sendiri.”
— Tan Malaka, Madilog, 1943
Apa guna pertumbuhan ekonomi jika hanya menguntungkan mereka yang sudah kaya? Apa arti pembangunan jika isinya penggusuran dan eksploitasi? Rakyat hanya ingin hidup wajar makan cukup, kerja layak, sekolah gratis, dan tanah untuk digarap. Tapi semua itu semakin jauh, karena negara lebih sibuk melayani pasar daripada mendengarkan jeritan dari kampung-kampung dan lorong-lorong.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak memperjuangkan nasib rakyatnya, ia bukan intelektual.”
— Pramoedya Ananta Toer
Hari ini, intelektualitas adalah keberanian menyuarakan yang tidak terdengar. Bukan sekadar bicara data, tapi memihak pada manusia. Bukan sekadar jadi penonton statistik, tapi turun menolak ketidakadilan.
Kami hanya muak melihat pembangunan dijadikan tameng untuk memperkaya segelintir orang. Kami tidak anti negara.
Kami hanya ingin negara hadir, bukan jadi alat kekuasaan dan bisnis.