Eksperimen Milgram: Kepatuhan Merubahmu jadi Pembunuh

 

Oleh: M. Syainullah

“Orang-orang biasa, yang hanya menjalankan tugas mereka, dan tanpa adanya niat jahat secara khusus, bisa saja menjadi bagian dari suatu proses yang sangat merusak.” —Stanley Milgram, Obedience to Authority, 1974.

Baca: Opini Penggunaan Media Digital Di Daerah Terpencil

Saya pernah mengutip Hannah Arendt dalam tulisan sebelumnya, tentang kritiknya terhadap banalitas kejahatan dimana Arendt, dalam Eichmann in Jerusalem (1963), menunjukkan bahwa pelaku genosida bukanlah monster, melainkan birokrat yang patuh akan akan perintah. Ia tidak membunuh karena kebencian, tetapi karena rutinitas yang dilembagakan. Ia tidak berpikir, hanya menjalankan perintah. Di sinilah letak bahaya kepatuhan dimana patuh bisa mengubah manusia biasa menjadi pelaku kekerasan luar biasa.

Baca: Manifesto Politik Kekuasaan Presiden Prabowo

Stanley Milgram membuktikan hal itu secara empiris dalam eksperimen yang ia lakukan di Yale, Amerika Serikat pada tahun 1961, Milgram merekrut partisipan untuk memberikan kejutan listrik kepada “murid” setiap kali mereka salah menjawab. Murid itu sebenarnya aktor, dan tidak benar-benar disetrum, namun partisipan tidak tahu. Mereka hanya tahu bahwa seorang profesor sebagai simbol otoritas dalam eksperimen tersebut, meminta mereka untuk terus menambah voltase. Hasilnya mencengangkan, 65% partisipan bersedia memberikan kejutan hingga 450 volt meskipun mereka mendengar jeritan kesakitan dari ruangan sebelah karena efek sentrum tersebut.

Milgram menyimpulkan bahwa kepatuhan terhadap otoritas bisa mengalahkan empati, logika, bahkan naluri moral. Dalam Obedience to Authority (1974), ia menulis bahwa “kejahatan besar dalam sejarah bukan dilakukan oleh psikopat, tetapi oleh orang biasa yang tunduk pada sistem.” Ini bukan soal karakter, tapi soal struktur.

Baca:Menakar Ulang Peran Mahasiswa dalam Peta Kekuasaan Demokrasi Demagogi

Philip Zimbardo, dalam The Lucifer Effect (2007), memperkuat temuan ini lewat Eksperimen Penjara Stanford dimana Zimbardo menunjukkan bahwa ketika seseorang diberi peran sebagai sipir, ia bisa berubah menjadi pelaku kekerasan dalam hitungan hari. Zimbardo menyimpulkan bahwa “situasi bisa lebih kuat daripada niat baik.” Kekuasaan, jika tidak dibatasi, bisa mengubah siapa pun menjadi pelaku kekejaman.

Michel Foucault, dalam Discipline and Punish (1975) menambahkan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bersifat frontal, tetapi menyusup ke dalam tubuh dan wacana kehidupan sehari-hari. Ia membentuk cara kita berpikir, berbicara, bahkan merasa. Dalam sistem yang terstruktur, kepatuhan bukanlah pilihan, melainkan norma, dan norma itu bisa membunuh.

Di Indonesia, kita menyaksikan bentuk lain dari eksperimen Milgram dalam skala yang lebih luar biasa lagi. Ketika aparat menindak demonstran dengan kekerasan, ketika pejabat menandatangani proyek yang merusak lingkungan, ketika birokrat meloloskan anggaran yang bahkan tidak melawan hati nuraninya, semua itu sering dilakukan bukan karena kebencian atau konflik kepentingan tertentu, tetapi karena kepatuhan, kepatuhan pada sistem, pada atasan, pada prosedur. Mereka tidak berpikir, hanya menjalankan perintah.

Baca: Kritik Paradigma Materialisme Dialektis dalam Epistemologi Marxisme

Kita hidup dalam negara yang terlalu sering menuntut kepatuhan, tetapi jarang mengajarkan keberanian untuk bertanya. Ketika rakyat diam karena takut, ketika pegawai tunduk karena loyalitas, ketika intelektual bungkam karena kenyamanannya, maka kita sedang mengulang eksperimen Milgram dalam versi kebijakan publik, dan ini menghasilkan konsekuensi yang jauh lebih serius dan berbahaya.

Kepatuhan yang tidak disertai kesadaran moral adalah jalan sunyi menuju kekejaman. Ia tidak berteriak, tidak berdarah, tapi ia mengikis kemanusiaan secara perlahan! Maka tugas kita bukan hanya melawan tirani, tetapi juga melawan banalitas. Karena seperti yang ditulis Arendt, “kejahatan terbesar adalah kejahatan yang dilakukan tanpa pikiran.”

Negara yang sehat bukanlah negara yang dipenuhi orang patuh, tetapi negara yang dipenuhi orang berpikir. Karena hanya dengan berpikir, kita bisa menolak perintah yang salah. Dan hanya dengan menolak, kita bisa tetap menjadi manusia.**

IKUTI ZONA KALBAR COM DI GOOGLE NEWS / BERLANGGANAN ZONA KALBAR COM MELALUI WHATSAPP