Partai Baru Sulit Lolos, Ini 3 Faktor Menurut Saiful Mujani

Zona Politik – Ilmuwan politik, Prof. Saiful Mujani, menyatakan peluang partai-partai baru untuk lolos ke Senayan sangat berat. Hal ini disampaikan pada program Bedah Politik episode ”Peluang Partai-partai Baru” yang tayang di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 18 Agustus 2022.

Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/1pcfMvcO4So

Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) itu melihat bahwa ada tiga faktor yang bisa mendorong lahirnya partai baru dan mendapatkan dukungan publik: momentum, basis sosial, dan tokoh. Ketiga hal ini cenderung tidak dimiliki oleh partai-partai baru.

Salah satu alasan agar suatu partai baru mendapatkan dukungan publik adalah adanya momentum. Menurut Saiful, momentum tidak bisa diciptakan, dia muncul tiba-tiba dalam sejarah. Pada 1999, misalnya, ada momentum krisis ekonomi dan keruntuhan Orde Baru. Ini momentum politik besar yang tidak bisa diulang dan direkayasa begitu saja.

1999 adalah momentum bagi PDI Perjuangan, karena keruntuhan Orde Baru pada 1998 identik dengan represi pada PDI Perjuangan. Nama PDIP sendiri lahir sebagai perjuangan melawan Orde Baru. PDIP mendapatkan suara yang sangat siginifikan (34 persen) dalam sejarah politik Indonesia pada 1999 karena ada momentum. Dan perolehan suara besar ini juga pantas diperoleh oleh PDIP karena partai ini dengan tokohnya seperti Megawati adalah korban dari represi yang dilakukan oleh Orde Baru.

“Partai politik muncul karena ada momentum. Dan momentum ini tidak bisa direkayasa,” kata Saiful.

Faktor kedua adalah basis sosiologis. Saiful menjelaskan bahwa ada 42 partai yang berdiri dan mendaftar ke Pemilu. Jumlah ini tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan Pemilu 1999 di mana yang lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum dan secara resmi ikut Pemilu ada 48 partai.

Itu record dalam sejarah pemilihan umum Indonesia sejak reformasi. Ini logis, kata Saiful, mengingat antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik di masa awal reformasi. Saat itu jumlah partai ratusan, tapi yang lolos menurut kriteria yang ditetapkan KPU hanya 48 partai. Dari 48 partai itu, yang mendapatkan suara signifikan, hanya 5 partai politik.

Dari semua partai tersebut, menurut Saiful, umumnya mereka memiliki basis yang sama. Basis sosial dari partai politik yang juga biasa disebut sebagai partai massa antara lain adalah basis sosial keagamaan, misalnya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, atau gereja. Partai yang didirikan dengan basis sosial organisasi keagamaan biasa disebut sebagai partai sosiologis.

Partai Baru Sulit Lolos, Ini 3 Faktor Menurut Saiful Mujani
Ilustrasi

Saiful menyatakan bahwa partai yang berasal dari satu organisasi, seperti NU, tidak tunggal. Banyak partai yang lahir dan berafiliasi dengan sentimen keNUan atau pendiri dan tokoh partai-partai tersebut memiliki hubungan khusus dengan NU. Yang muncul dari NU bukan hanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB sendiri memiliki hubungan yang sangat dekat dengan NU karena didirikan oleh tokoh NU yang sangat populer, KH Abdurrahman Wahid.

Dari Muhammadiyah juga lahir sejumlah partai, misalnya Partai Amanat Nasional (PAN). Walaupun secara langsung PAN tidak didirikan oleh Muhammadiyah, tapi tokoh-tokoh yang ada di partai ini berasal dari orang Muhammadiyah seperti Amin Rais.

“Secara sosiologis, jaringan sosial PAN adalah Muhammadiyah,” kata Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.

Lebih jauh Saiful menjelaskan bahwa Muhammadiyah secara historis dekat dengan Masyumi. Dari keluarga Masyumi muncul sejumlah partai seperti partai yang menamakan diri Masyumi sendiri. Saiful menyebut bahwa selain partai Masyumi, juga ada Partai Bulan Bintang dan Partai Amanat Nasional yang berasal dari rumpun sosiologis yang sama, Masyumi.

Saiful melihat bahwa faktor penentu kemenangan satu partai atas partai lainnya dalam rumpun yang sama tidak cukup hanya dengan hubungan simbolik dan historis antara klaim kedekatan satu partai dengan Ormas tertentu. Jika klaim hubungan simbolik saja dengan, misalnya, Masyumi yang berperan penting, mestinya partai yang menamakan dirinya Masyumi yang akan mendapatkan dukungan publik lebih banyak. Demikian pula dengan PBB yang memiliki lambang yang mirip dengan Masyumi. Kenyataannya tidak. Justru yang unggul adalah PAN.

Baca juga: Cara Aktifkan Internet Murah Telkomsel 8 GB Hanya Rp 17.000, Murah Banget!

Pada mulanya, jelas Saiful, PAN didirikan dengan tidak memiliki keterkaitan sejarah dengan politik Indonesia, misalnya dengan Masyumi maupun Muhammadiyah. Para penggagasnya adalah tokoh-tokoh yang sangat nasionalis, seperti Goenawan Mohamad. Kenyataannya PAN yang mendapatkan suara yang banyak dari rumpun Masyumi.

“Klaim (kedekatan historis) saja tidak cukup, tapi juga harus ada tokoh di situ,” kata Saiful.

Amin Rais pada 1999 adalah salah satu bintang politik Indonesia. Saiful menyatakan bahwa dalam sejarah politik Indonesia, harus diakui bahwa Amin Rais adalah tokoh yang sangat penting dalam gerakan reformasi Indonesia. Bahkan diklaim sebagai Bapak Reformasi, dan itu sah, menurut dia.

Saiful menceritakan bahwa pada Pemilu 1999, banyak yang menyangka PAN akan menjadi pemenang Pemilu. Mereka memiliki ekspektasi yang sangat tinggi pada PAN. Kenyataannya hanya mendapatkan suara 7 persen. Ini di luar dugaan banyak orang. Tradisi riset di tahun 1999 memang belum kuat, jadi banyak orang yang menebak tanpa studi empiris yang memadai.

Perolehan suara PAN yang hanya 7 persen, menurut Saiful, terlalu jauh dari perolehan partai Masyumi pada Pemilu 1955 yang mencapai suara sekitar 20 persen. Ke mana suara Masyumi?

Saiful menyebut bahwa dalam satu studi dikatakan tradisi Masyumi terpecah, salah satunya tertampung di Partai Golkar. Golkar adalah pelanjut dari Masyumi. Karena Golkar kuat di Jawa Barat, dan daerah ini adalah salah satu basis Masyumi.

“Demikian pula dengan Sumatera, Golkar juga kuat di sana, dan itu adalah basis Masyumi. Pada umumnya, di luar Jawa, Masyumi kuat. Dan pada Pemilu 1999, partai yang kuat di luar Jawa adalah Golkar,” jelas penulis buku Muslim Demokrat itu.

Aspek ketiga adalah tokoh. Contoh yang paling baik, menurut Saiful, bagaimana tokoh memiliki peran penting dalam pembentukan partai adalah kelahiran Partai Demokrat. Partai ini tidak memiliki basis pada Ormas. Bahkan, menurut Saiful, pada Demokrat, Ormasnya dibuat justru bersamaan dengan pendirian partai. Awalnya mereka tidak memiliki Ormas pendukung, adanya adalah tokoh seperti Susilo Bambang-Yudhoyono dan teman-temannya. Begitu dideklarasikan, SBY bisa menarik suara dan Demokrat mendapatkan suara yang cukup signifikan, sekitar 7 persen pada 2004. Lalu setelah SBY menjadi presiden, pada Pemilu 2009, Partai Demokrat mendapatkan suara 21 persen.