ZONAKABAR.COM – Hallo Ibu Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, apa kabarnya di Jakarta? Esok, mohon izin dan kesediaannya untuk bersua. Hari ini terlebih dahulu, kami mau mengabarkan bahwa perusahaan PT. Mayawana Persada terus perparah krisis iklim dengan bertindak brutal membabat hutan dan gambut untuk bisnis hutan tanaman industri (HTI) mereka di Kalimantan Barat. Bahkan akhir-akhir ini, pihak perusahaan juga terus memperluas ekspansinya dengan menggusur lahan hingga ke perbatasan wilayah Desa Paoh Concong di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang.
Dengan luas izin 136.710 hektar melalui SK.732/Menhut-II/2010, pada tahun 2016 sebagaimana dipetakan Kementerian LHK bahwa luas hutan dalam areal izin seluas 88.100 hektar. Selanjutnya seluas 89.410 hektar sebagaimana dipetakan pada tahun berikutnya adalah habitat orang utan dan 83.060 hektar merupakan ekosistem gambut kaya karbon.
BACA JUGA:
PCNU Ketapang Sukses Gelar Halaqah Revitalisasi Amaliah Aswaja An-Nahdliyah
Kamtibmas Pontianak Utara Himbau kepada pelajar agar tidak berkumpul terlalu larut malam
Dari hasil pemantauan citra satelit terpantau, bahwa PT. Mayawana Persada kini mulai membabat hutan yang terindikasi area gambut lindung ke daerah barat daya. Apabila ini terus berlanjut, maka potensi pembukaan hutan akan terus meningkat hingga mencapai 6.268 Ha. Disaat pemerintah ingin menekan laju deforestasi guna menekan laju pemanasan global yang berdampak pada krisis iklim global, kenyataan kontras malah ditunjukkan melalui praktik yang kini dilakukan oleh eks perusahaan group Alas Kusuma ini.
Berdasarkan catatan Koalisi Masyarakat Sipil dalam laporan “Kerusakan ekologis – pelanggaran HAM PT. Mayawana Persada: Ugal-ugalan Ekspansi HTI di Kalimantan Barat”, pihak perusahaan telah menebangi 14 ribu hektar hutan antara Januari dan Agustus 2023. Pada Oktober 2023, perusahaan group yang diduga memiliki keterkaitan dengan Royal Golden Eagle ini membuka hutan tambahan seluas 2.567 hektar. Dengan demikian, sejak 2016 hingga saat ini perusahaan telah menebang hutan seluas 35 ribu hektar.
Selain membuka lahan gambut lindung penyimpan karbon yang berada pada Kawasan Hidrologis Gambut, perusahaan monokultur ini juga membuka ekosistem berhutan alami yang menjadi habitat orangutan. PT. Mayawana Persada juga telah membuka hutan hingga ke tepi sungai utama yang mengalir melalui konsesi di satu kawasan. Bahkan disisi lain terpantau pembukaan hutan yang dilakukan hingga jarak 40 meter dari tepi sungai. Pembukaan hutan di wilayah konsesinya terjadi dengan ugal-ugalan dan melanggar prinsip pelestarian lingkungan.
Padahal dalam Pasal 6 ayat 3 Permen PUPR Nomor 28 tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, dijelaskan bahwa garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. Pada sisi lain, lahan yang memiliki fungsi ekosistem gambut lindung jelaslah tidak dibolehkan untuk kegiatan perkebunan. Jenis tanaman yang ditanam oleh PT. Mayawana Persada adalah akasia dan eukaliptus, sebagaimana diketahui bahwa pemanfaatan lahan gambut untuk HTI akasia dan eukaliptus selalu diawali dengan pembuatan saluran drainase atau kanal dengan akibat mengeringnya lahan dan rusaknya ekosistem gambut.
Berdasarkan hasil pemantauan, terdapat sejumlah saluran kanal-kanal yang dibangun dan bersinggungan dengan anak sungai. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembukaan lahan gambut untuk bisnis HTI oleh PT. Mayawana Persada tidak terhindarkan. Melalui kanalisasi yang dilakukan perusahaan, pengeringan lahan menyebabkan gambut rusak tersubsistensi hingga rentan mengalami kebakaran dan berbagai risiko lainnya yang mungkin terjadi.
Konversi lahan gambut menjadi perkebunan komoditas vegetasi monokultur, seperti akasia dan eukaliptus, mengakibatkan terlepasnya emisi karbon di dalam gambut serta berkurangnya biomassa di atas gambut. Cadangan karbon dalam tanah gambut adalah 10 kali lipat dibanding dalam tanah mineral biasa. Oleh karena itu, setiap kerusakan yang terjadi di lahan gambut mengakibatkan pelepasan emisi yang lebih besar sehingga berimbas pada meningkatnya krisis iklim.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Hendrikus Adam mengungkap bahwa izin konsesi PT. Mayawana Persada sendiri berada dalam Kawasan Hidrologis Gambut Sungai Durian-Sungai Kualan yang memiliki indikatif fungsi lindung maupun fungsi budidaya gambut.
“Berdasarkan temuan pemantauan Walhi Kalbar yang dilakukan pada lima titik di tiga desa di wilayah Kayong Utara menguatkan fakta bahwa telah terjadi pembukaan lahan yang sebelumnya memiliki tegakan kayu alam. Selain itu, juga ditemukan adanya pembukaan lahan gambut melalui pembuatan sejumlah kanal” tegas Hendrikus Adam.
Lebih lanjut, Adam menyebutkan bahwa sepanjang 2022 hingga Oktober 2023, PT. Mayawana Persada telah membuka dan mengeringkan lahan gambut seluas 14.505 hektar. “Dengan demikian, berarti perusahaan telah mengeluarkan 797.775 metrik ton CO2. Sebuah angka yang pantastis menambah laju akumulasi emisi di tengah keinginan pemerintah untuk menekan laju krisis iklim. Bahkan dari informasi yang diperoleh di lapangan beberapa waktu lalu, perusahaan terus melakukan ekspansi hingga di batas wilayah Desa Paoh Concong tanpa sepengetahuan dan sepersetujuan masyarakat di komunitas” tegas Adam.
Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi mengatakan bahwa ekspansi perkebunan kayu PT Mayawana Persada telah merusak hutan alam, lahan gambut, dan habitat orangutan. “Jika dilihat dari citra satelit di wilayah konsesi, nampak jelas garis kisi-kisi yang akan menjadi area clearing selanjutnya. Potensi pembukaan hutan ini mencapai 6.268 Ha. Dengan demikian maka emisi yang dikeluarkan sebesar 344.740 metrik ton CO2” ungkapnya.
Menurut Andi Muttaqien, ekspansi perkebunan kayu yang membabat hutan alam, gambut dan habitat orangutan tersebut harus dihentikan. “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mesti bertanggung jawab atas deforestasi yang terjadi” tegas Andi.
Sementara itu, Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR Borneo), Ahmad Syukri mengungkapkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh PT Mayawana Persada di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara telah merusak keseimbangan ekologis dan ketentraman masyarakat sekitar.
“Ekosistem gambut yang spesial karakter dan fungsinya bagi keseimbangan alam dihancurkan hanya demi tanaman monokultur yang ditanam dan dipanen secara periodik. Sudah barang tentu ancaman bencana alam banjir akan menghantui wilayah di dalam dan sekitar konsesi PT Mayawana Persada, karena hutan alam dan ekosistem gambutnya rusak yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah menyerap dan menampung air” ungkap Ahmad Syukri.
Dikatakan Ahmad Syukri, potensi bencana akibat pembukaan besar-besaran hutan alam dan pengrusakan ekosistem gambut juga akan berdampak pada kondisi perekonomian masyarakat yang sepenuhnya masih menggantungkan hidupnya dari pertanian tradisional. Dirinya mencontohkan seperti banjir yang terjadi di sebagian besar kabupaten di Kalimantan Barat saat ini dimana ladang padi, area kebun (karet, buah) hingga pemukiman habis terendam banjir.
“Pelegalan dan pembiaran yang dilakukan oleh KLHK atas pembukaan hutan alam dan ekosistem gambut yang dilakukan PT Mayawana Persada ini bertentangan dengan target yang diinginkan pemerintah Indonesia dalam Folu Net Sink 2030. Sudah tepatkah langkah mitigasinya? PT Mayawana Persada harusnya diberikan sanksi berat” pinta Ahmad Syukri.
Pj Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat (AMAN Kalbar), Tono mengungkapkan bahwa PT. Mayawana Persada banyak melakukan pelanggaran HAM terhadap komunitas Masyarakat Adat Dayak Kualan dan Dayak Simpakng yang berada baik di Kecamatan Simpang Hulu maupun Kecamatan Simpang Dua karena perampasan wilayah adat yang dilakukan hingga saat ini.
“Bahkan Tonah Colap Torun Pusaka yang merupakan kawasan lindung adat yang dijaga oleh Masyarakat Adat Dayak Kualan pun dibabat habis oleh perusahaan” jelas Tono.
Selain merusak wilayah adat Masyarakat Adat Dayak Kualan dan Dayak Simpakng, menurut Tono, PT. Mayawana Persada juga merampas wilayah kelola masyarakat yang menjadi sumber kehidupan dan keberlanjutan. Konflik yang dialami Masyarakat Adat Dayak Kualan dan Dayak Simpakng sudah cukup lama. Masyarakat sudah melaporkan persoalan mereka dari Kecamatan hingga Pemerintah Pusat, bahkan PT. Mayawana Persada sudah sering dihukum Adat oleh Masyarakat Adat Dayak Kualan, tetapi penggusuran dan perampasan wilayah adat Dayak Kualan dan Dayak Simpakng terus terjadi. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Ketapang pun hingga saat ini belum berhasil.
“Menurut AMAN Kalbar, apa yang dilakukan oleh PT. Mayawana Persada sudah tidak bisa ditoleransi lagi dan meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mencabut izin perusahaan PT. Mayawana Persada, baik izin beroperasi maupun izin produksi” pinta Tono.